Review: The Bridgertons: Happily Ever After


The Bridgertons: Happily Ever After

My rating: 5 of 5 stars



Total 5 bintang.
Novel ini bener-bener novel Roman. Dan lengkap. Sempurna.
Di setiap buku diceritakan tentang bagaimana setiap karakter menemukan kebahagiaan sejatinya.
Kemudian bagaimana mereka ketika memiliki anak.
Kemudian bagaimana mereka mulai menua dan tetap bahagia.
Sampai detik ini semua bukunya aku baca yang terjemahan bahasa Indonesia ya, dan jujur aja aku cukup bersyukur karena selalu mendapatkannya. Hehehe. Kurang dua buku sih. Yang kisahnya Gregory sama Daphne belum dapet nih. Aaaah pingin baca. Tapi males baca yang terjemahan -___-
Yah. Pokoknya. Pokoknya. Keluarga ini nggak bisa disangkal. Unik luar biasa. Bahkan setelah setiap anggotanya memiliki anak, anak-anak mereka bikin tambah rame banget keluarga ini. Rasanya pasti sangat menyenangkan memiliki saudara 30an lebih, dan mereka semua dekat. Atau kalaupun nggak dekat, ada dari mereka yang sangat dekat karena orang tuanya sering mengajak mereka bertemu. Karena orang tuanya saling mencintai.

Dan novel ini diakhiri dengan sangat-sangat indah. Biasanya kita cuma lihat Violet sebagai pendukung disetiap novel yang selalu bergantian menjadikan karakter pendukung menjadi tokoh utama di buku setelahnya. Tapi kemudian, disinilah Violet menjalani perannya sebagai tokoh utama. Dan Julia Quinn membuatnya terasa begitu sempurna.


Diceritakan bagaimana pertama kali Violet bertemu dengan Edmund, ayah kedelapan anak ini. Kemudian bagaimana Edmund meninggal dan meninggalkan sakit yang luar biasa dalam untuk Violet. Lalu Violet yang melahirkan anak terakhirnya dan menyadari bahwa anak terkahir yang lahir tanpa tahu siapa ayahnya merupakan titik baginya untuk memulai lagi hidup yang baru dan bahagia.
Aku selama ini baca novel seri ini agak gak terlalu pedulu bagaimana ayah dari keluarga ini meninggal. Karena untukku juga tidak terlalu meninggalkan kesan yang dalam. Karena yaah, aku mengikuti karakter ini sama rasanya seperti karakter utama yang kubaca. Makannya waktu baca bukunya Anthony dan betapa sosok ayahnya itu menjadi trauma baginya, aku juga merasakan bagaimana sedihnya ia kehilangan satu-satunya panutan hidupnya. Lalu ketika Edmund muncul di akhir buku ini sebagai tokoh utama bersama Violet, dan meskipun aku tahu bahwa Edmund pasti meninggal, tapi karena dibawakan dari sisi Violet, aku ngerasain sedih luar biasa dan tak terbayangkan. Karena kan disitu aku juga memposisikan diri sebagai Violet dan kesedihannya yang luar biasa dalam terhadap suami.
Tapi sesuai judulnya, berjalan ke akhir, ketika anak-anak perempuannya datang menengok adik kecil mereka dan saling bercanda, dan ketika akhirnya senyum Violet kembali dengan celotehan-celotehan anak-anaknya. Dan mengingat bagaimana anak-anak Violet sangat mencintai mamanya, kemudian Violet ikut menangis... oh, harus kuakui di titik itu aku juga ikut merasakan air mataku turun.Aku merasakan ada bagian dari diri Violet yang berubah. Yaitu kebahagiaan barunya bersama anak-anaknya. Aaaaaaaah. aku suka banget kata-kata Violet di akhir buku. Dia bilang "Bentuk kebahagiaan itu tidak bisa diukur, tetapi kebahagiaan selalu berbeda". Dan itu bikin aku percaya bahwa memang, kebahagiaan itu memiliki perbedaan, tapi untuk satu ini, kebahagiaan memang tidak pernah kurang dari yang sebelumnya. Bukan berarti lebih bahagia, tetapi hanya berbeda. Sungguh. This book is really such a lovely story. And I love how Julia Quinn could bring this such of story. Love it. Sooo much.




Comments

Popular posts from this blog

Menyelami Seni dalam Kejiwaan pada buku "Psikologi Seni"

The Magic Of You by Johanna Lindsey (Malory-Anderson Family #4)

Devil in Winter (Wallflowers #3)