Review: The Secret

The Secret

My rating: 4 of 5 stars

awal awal baca bukunya aku pikir bakalan cuma ngasih 2 atau 3 bintang. habisnya sampe pertengahan alurnya lambat banget, dan aku hampir ngga setuju sama review temen2 d goodreads yg bilang bagus.

well, hari ini setengah bukunya nyaris gak bisa berhenti dibaca sebelum habis.

Akhirnya setengah lebih aku memutuskan untuk memberi 4 bintang, dibeberapa halaman berikutnya menjelang akhir aku mulai bingung kasih 4 atau 5 hingga akhirnya mengingat betapa bosannya aku di awal buku, aku memutuskan 4 cukup untuk buku ini.

Jujur aku agak sulit ngikutin gaya penulisannya yang kalimatnya cepat banget selesai. Dan juga pengulangan subjek yang sama dalam satu paragraf seolah sedang menjelaskan hal yang baru padahal itu kalimat penjelas.



Oke, cukup untuk tata bahasanya, dan kebosananku di awal awal cerita. Pada akhirnya aku menyukai perkembangan hubungan antara Judith dan Iain beserta chemistry mereka. Karena aku cukup sering bertemu dengan karakter seperti Judith dan Iain sehingga seringkali aku mencoba menebak akan seperti apa kehidupan mereka. Aku suka dengan cara cerita ini menangkis tebakan tebakanku. Aku agak takut Judith nantinya akan pergi gara-gara dia dibohingin Iain tentang motifnya ketika menikah dengan Judith. Bagusnya meskipun memang seperti tebakanku kalau Judith merasa tertipu, Iain bisa mengatasi perasaan Judith dengan cara yang menurutku cukup cerdas.

Ah, yang bikin aku nggak bosan pada akhirnya adalah interaksi para tetua dewan, Graham dan Gilfert terutama ketika adegan Judith dipukulin batu. Kedua tetua ini keukeh matanya Judith bakalan keluar. Ngakak deh. Terus juga ketika para tetua berceloteh mengenai Judith yang mundurin kursi terus gara gara takut Iain mabuk juga lucu.

Anyway, selain hal hal lucu yang cukup sering, pada akhirnya membuatku tertawa, ada juga bagian bagian yang bikin aku pingin nangis. Dan itu adalah kehidupan Judith selama di Inggris dan bagaimana ia dengan polosnya menganggap kehidupannya sebagai suatu kebiasaan buian penderitaan. Sayangnya unsur traumatik itu tetap ada jadi walau secara logika dia berani, tapi secara mental sebenarnya Judith takut. Kalo udah gittu,aku paling tersentuh ketika Iain tidak pernah luput menyadari kalau Judith sedang merasa takut.

Yah, dan aku selalu cukup terpukau dengan pikiran positif heroin. Judith juga punya pikiran negatif, tapii pikiran pikiran itu seringkali membuatku tersenyum karena Judith ini walaupun kehidupannya di Inggris tidak menyenangkan tapi dia tetap gadis yang polos.

Oyaaa aku paling suka deh waktu akhirnya Judith ketemu kakak sama ayahnya. That's a sweet moment. Hmmm

Comments

Popular posts from this blog

Menyelami Seni dalam Kejiwaan pada buku "Psikologi Seni"

The Magic Of You by Johanna Lindsey (Malory-Anderson Family #4)

Scandal in Spring (The Wallflowers, Book 4)