Review: Hujan - Tere Liye

Hujan

My rating: 5 of 5 stars


Ya ampun. Novel ini. Mengagumkan.

Aku baru aja selesai baca, dan masih deg-degan. 


Jadi, ini novel pertama Tere Liye yang aku baca, sekaligus novel pertama yang aku baca full dari penulis Indonesia yang dia adalah seorang pria!

Mengesampingkan betapa aku butuh satu lagi epilog dari novel ini (view spoiler), mari aku sebutkan apa aja yan bikin aku suka sama novel ini:

Yang pertama!!!

Karakter. Karakter. Karakter!!

Karakter yang kuat sekali. Esok dan Lail. Mereka adalah hal pertama yang membuatku langsung duduk tegap ketika membaca halaman pertama buku ini, dan semakin bersemangat ketika masuk cerita pertemuan Lail dengan Esok.

Siapa yang nggak jatuh cinta sama sosok seperti Lail dan Esok? They were so adorable. 

Esok dengan kejeniusannya yang mengagumkan, tapi ia tidak pernah berhenti menjadi seorang ‘Esok’ untuk Lail. Tokoh periang, baik, bersahabat, perhatian, supel, suka menolong, tapi sekaligus misterius karena perasaannya bias banget, aku nggak bisa menelisik apapun dari perasaan dia apakah dia mencintai Lail atau hanya menganggap Lail sebagai sahabat dan adiknya?. Sebeeel, karena sampai terakhir pun aku nggak tau, serius deh, Esok kurang romantis deh kayaknya, hahahah. Tapi kalo harus dinominasiin, Esok ini tokoh hero yang paling aku favoritin sejauh aku membaca novel di tahun 2016 ini. Setiap kali Lail kangen sama Esok, aku ikut kangen. Tiap kali dia seneng ketemu Esok, aku juga tanpa sadar jadi seneng. Waktu Lail sedih karena Esok, aku ikut sedih, dan tiap kali Lail berdebar-debar karena Esok, aku juga! Aku suka banget suka suka sukaaaa banget sama Esok di akhir cerita,(view spoiler)

Novel ini berhasil bikin aku masuk sepenuhnya ke dalam karakter Lail! Dan karena aku suka banget sama Lail, jadi aku suka banget berada di posisi dia. Anyway, cerita ini memang diceritakan dari orang ketiga, tapi bukan masalah bagiku, karena aku tetap menjadi Lail. Suka, suka, sukaaaa banget. How to say it? I love her! 

Lail sendiri memiliki semua kriteria heroin favoritku, banget!

Berani, lucu, baik, tabah, kuat, sabar, rendah hati, ceria, positif, bersemangat, tenang, ugh, yang positif-positif pokoknya dia punya deh. Tapi aku lebih suka karena dia punya sisi negatifnya: Ia sangat tahu diri dan sadar diri. Dia merasa sangat rendah diri setiap ketemu sama Claudia, dia merasa pesimis karena Esok adalah sosok yang semakin lama menjadi milik semua orang, bukan miliknya sendiri. Perasaan itu yang bikin aku nggak bisa menghilangkan sosok Lail dari kepalaku. Betapa dia selalu berfikir bahwa Esok memiliki tingkat yang jauh di atasnya, padahal kalau ditengok lagi, sebenarnya Lail juga memiliki kualitas yang langka sebagai seorang perawat. Hanya saja baginya Esok itu hebat banget, sampai lama-lama ia menjadi sulit diraih. Trus, oya, trus ini yang bikin aku kagum sama Lail. Lail ini setiap ketemu sama Esok selalu senang. Selalu. Dia cuma pernah marah sama Esok sekali, itupun, yaampun bentar banget. Jadi, Lail ini kalo di depan Esok selalu terlihat riang kayak yang sempurna banget nggak ada jelek-jeleknya. Tapi Esok juga nggak pernah tau, kalau perasaan Lail ini complicated banget, terutama kalau sudah tentang Esok. Dia tidak sekuat yang ia perlihatkan, hatinya lemah seperti wanita pada umumnya. Perasaan pesimis itu menurutku cute banget, dan entah kenapa karakter seperti Lail ini selalu berhasil menggugah perasaanku, dan mendapatkan simpatiku dengan sempurna. 

Eh, boleh lho ya rekomendasiin aku cerita yang punya tokoh-tokoh heroin semacam Lail. Kuat-kuat lemah gitu, suka deh XD 

Satu hal yang menurutku kurang lengkap dari buku ini adalah pengambilan cerita dari sudut pandang Esok. Sayang banget nggak ada cerita bagaimana cara Esok melihat Lail selama ini, kapan ia merasakan ada perubahan dalam dirinya, pokoknya pingiiin banget tau, kepo maksimal deh hahahaha *pinginnya lin, lin*

Satu lagi, si Maryam! Ya ampun cewek kribo itu udah jadi pelepas penat banget deh. Kebiasaannya yang suka keceplosan ngomong apapun yang keluar dari kepalanya. Dia yang menyadarkan perasaan Lail, pokoknya menurutku Maryam ini berjasa banget deh.

Yang kedua!!!!

Alur.

Setelah karakternya yang kuat, cerita dalam buku ini diperkuat dengan alurnya. Berlatar di tahun… 2043 bukan ya? Pokoknya tahun masa depan dengan kecanggihan teknologi yang wow, novel ini benar-benar menjadi penghilang penat. Imajinatif banget pokoknya! Hahaha

Alurnya, ditambah dengan karakter yang kuat, saling beriringan. Semua cerita disini memiliki latar cerita yang luar biasa, kemudian dipadukan dengan bagaimana chemistry para tokohnya, so, it’s perfect.Lalu, isu status sosial itu, yang bikin Lail merasa bukan siapa-siapa bagi Esok padahal ia segalanya bagi esok, bikin gemes-gemes-geregetan-tapi-juga-pingin-loncat-jejingkrakan. Cerita tentang perubahan iklim di tahun itu menjadi masalah utama yang diangkat dari awal. Awalnya aku nggak terlalu perhatiin sih dimana letak kepentingan masalah-masalah itu, tapi oh-ternyata-ya-ampuuun tetep aja ya tuh masalah nggak lepas dari ketegangan yang diiringkan dengan kisah antara Lail dan Esok.

Yang ketiga!!

Penuturannya.

Walaupun aku dibilang nggak begitu mendalami setiap deskripsi dunia masa depan, karena kepo banget sama Lail dan Esok ya, tapi setiap kalimat, setiap suasana dideskripsikan dengan penuturan yang berhasil menyentuh hatiku, ini juga yang berhasil bikin aku begitu merasakan tokoh Lail. Bagaimana Tere menceritakan keadaan disana juga menegangkan!

Berhubung ini novel pertama Tere Liye yang aku baca, haha, kayaknya ini juga buku terbaik dia ya?
Aku agak nggak nyangka aja Tere Liye bisa menghadirkan cerita romantis melalui sudut pandang tokoh heroine-nya, karena buat aku berhasil bangeeet. Rasanya nyaris mirip kayak aku baca cerita yang ditulis oleh perempuan.Perfect. Kelihatannya penguatan karakter ini cukup menjadi faktor kuat kenapa cerita ini menjadi begitu berhasil. 


“Ayolah, Lai. Sudah saatnya kamu melupakan Soke Bahtera. Masih banyak pemuda lebih oke disbanding dirinya. Soke Bahtera bukan satu-satunya laki-laki di dunia. Iya, aku tahu, dia genius sekali, tapi menghabiskan waktu bersama orang jenius?Eeeuh, kamu akan makan hati. Mereka lebih sibuk dengan mesin-mesin canggihnya. Bahkan saat bersamapun, dia tetap sibuk dengan pekerjaannya.”

Lail menggeleng. Esok tidak seperti itu. Esok selalu seratus persen memperhatikannya saat mereka bersama-sama. Bahkan ketika Lail sibuk membuat kue bersama Ibu Esok, pemuda itu tetap duduk memperhatikannya, tersenyum lebar. Lail ingat sekali momen itu, salah satu momen terbaiknya.






Comments

Popular posts from this blog

Menyelami Seni dalam Kejiwaan pada buku "Psikologi Seni"

The Magic Of You by Johanna Lindsey (Malory-Anderson Family #4)

Devil in Winter (Wallflowers #3)